Saturday, March 13, 2010

My solo backpacking trip to Makassar & Tana Toraja (2-8 Maret 2010) Part 2

Bagian kedua trip ini adalah exploring Tana Toraja dalam 2 hari 2 malam.

Enjoy!!

 

Hari kelima, 6 Maret 2010

Cathy dan Peter, bule dari Cheko yang baru saya kenal memutuskan untuk menyewa motor sementara saya dibocengi  guide naik motornya. Kami memilih rute berbeda dan jalan sendiri-sendiri.

Kete Kesu

Hal pertama yang saya ingin lihat adalah jejeran rumah Tongkonan seperti di Post cards. Maka, Kete Kesu lah tujuan saya. Kebetulan rutenya tidak jauh dari Rante Pao, bahkan yang terdekat menurut peta yang saya dapat dari Wisma.

Jejeran rumah adat Tongkonan tertata rapi di Kete Kesu. Seorang guide local yang penduduk asli Kete Kesu menjelaskan fungsi rumah dan lumbung yang ada disana. Beliau juga membawa saya ke makam di belakang desa yang terdiri dari makam modern berbentuk rumah dan makam kuno di goa. Terlihat dari makam-makam tersebut ada yang masih baru dengan karangan bunga yang masih segar. Dan memang, ada makam salah seorang yang dihormati yang sudah meninggal tahun 1996 namun baru diupacarakan. Didepan makam diletakkan Tau-Tau (orang-orangan)di dalam kaca,  seperti bentuk almarhum ketika masih hidup. Memasuki makam kuno, saya kagum dengan makam gantung yang berada tinggi di tebing hanya dialasi kayu dan bamboo. Bagaimana caranya mereka menaikkan kesana ya? Beberapa makam yang berada di bawah terlihat dipenuhi barang-barang peninggalan para almarhum dengan pakaian, buku, dan lain sebagainya.

Pala Tokke

Titik selanjutnya yang terdekat di  peta yang saya dapat dari penginapan adalah Pala Tokke, disitu disebutkan sebagai makam gantung. Saya menemukan petunjuk jalan menuju kesana, namun jalan masuk yang menanjak melewati area persawahan rusak parah dan berlumpur. Kira-kira 15 menit kemudian, di tengah sawah, jalan terputus dengan tumpukan pasir yang memblokir jalanan dan tanah lempung. Akhirnya saya putuskan untuk kembali setelah tidak menemukan satu orangpun yang bias ditanya. Hanya terlihat sebuah Rante (padang) dengan jajaran menhir dan kerbau disana.

 

Baby’s grave Kambira

Perjalanan saya lanjutkan ke Kambira yang terletak di Sangala’. Lagi-lagi saya dibuat bingung karena setiap orang yang saya temui tidak mengetahui keberadaan Kambira. Ternyata Kambira hanya nama sebuah dusun yang penduduknya tidak banyak.

Baby’s grave Kambira adalah sebuah pohon besar yang dipakai untuk mengubur bayi-bayi yang meninggal sebelum menginjak usia 6 bulan pada masyarakat animism-dinamisme. Terakhir kubur pohon ini dipergunakan pada tahun 1960-an.

Pernikahan adat Toraja

Pada perjalanan kembali dari Kambira, saya melihat kerumunan orang dan kendaraan di tepi jalan yang saya lalui sebelumnya. Ternyata disana aka nada upacara pernikahan. Memutuskan untuk turun dan mencari tau seperti apa pelaksanaannya, saya merasa beruntung karena meskipun tidak mendapati pesta kematian Rambu Solok yang merupakan hajat besar orang Toraja, saya menemukan upacara pernikahan.

Kurang lebih 45 menit saya duduk sebagai ‘tamu tak diundang’, bercengkrama dengan para tamu undangan yang dating dari berbagai desa. Acaranya sendiri digelar di padang diatara rumah Tonkonan dan Lumbung padi, dimana para tamu duduk dibawah lumbung. Hanya tamu-tamu penting saja yang dipersilakan untuk duduk di barisan terdepan.

Banyak hal yang saya temui disini. Seperti makanan tradisional yang disajikan dalam bamboo yang dibakar yang dinamakan Papiong; bias isi daging, ikan, nasi atau sayur mayur. Juga minuman Ballo’ yang diambil dari nira berkadar alcohol 2-3 % yang hanya diminum oleh para pria. Dengan tanpa malu-malu saya meminta untuk mencoba minuman ini, ternyata rasanya segar, seperti minum air tape ketan, asam dan manis jadi satu. Alkoholnya hamper tidak terasa. Katanya ada 2 macam ballo’ yang berwarna putih dan berwarna kemerahan yang dicampur kulit kayu. Yang saya coba adalah yang putih. Sayangnya saat itu belum waktunya makan siang, bahkan pengantin pun belum tiba dari pemberkatan di gereja, sehingga saya tidak bias mencicipi bagaimana rasanya Papiong.

Mempelai tiba dengan 2 kendaraan, yang terdepan adalah iring-iringan pembuka berupa mobil jip yang dihias dengan manic-manik dan kain tradsional. Yang naik didalamnya adalah para pengiring cilik (semacam pagar ayu) dan ibu-ibu memakai pakaian tradisional. Mobil kedua adalah kijang Krista yang dihias dengan bunga dan kain tile putih. Saya menantikan mempelai yang keluar, berharap bias melihat pakaian tradisional mereka. Ternyata ketika keluar, sang mempelai wanita memakai gaun putih ala Barat, jadinya saya sedikit kecewa.

Rankaian acara terdiri dari Doa Pembuka, wejangan, salam-salaman dan ditutup dengan makan bersama.

Londa

Londa adalah salahsatu destinasi yang wajib dikunjungi. Sebuah goa yang terletak di selatan Rante Pao, dimana terdapat makam warga satu marga (rata2 makam yang dikunjungi memang milik 1 marga). Disini kita harus menyewa lampu petromaks seharga Rp. 20 ribu untuk masuk ke dalam goa yang gelap. Ada 2 mulut goa, yang pertama saya masuki adalah yang sebelah kanan. Banyak tulang belulang dan tengkorak berserakan disini, dan peti-peti mati diletakkan di hamper setiap sudut, ada yang dialasi kayu ada yang tidak. Ada cerita menarik disini, yaitu tentang sepasang kekasih yang tidak disetujui orang tua mereka karena masih sepupu dekat yang akhirnya mati bunuh diri. Tengkorak keduanya ditempatkan pada tempat yang sama dengan dihiasi bunga-bunga dan kain tile.

Masuk kedalam, sang guide menanyakan apakah saya mau menyusuri lorong sempit berukuran tinggi 50 cm dan panjang 12 m. Sayapun meng-iyakan, dengan was-was apakah badan saya yang luas ini muat atau tidak. Ternyata muat (hehe), sayapun diminta merunduk dan merangkak sambil berhati-hati kalau-kalau kepala terantuk stalagmite. Sampai di ujung saya pun bernapas lega, ternyata tidak terlalu jauh lorong ini, dan sayapun keluar dari ujung mulut goa yang berada di sebelah kiri. Sempat saya berfoto dibalik lubang yang ada tengkorak manusia-nya, seperti diarahkan sang guide. Serem? Nggak tuh!! Tidak ada hal mistis sama sekali di Londa.

Rante Karassik

Hujan deras mengguyur Rante Pao – Makale sore itu, memaksa saya untuk menghentikan perjalanan. Setelah hujan reda, saya putuskan untuk kembali ke Rante Pao. Sambil melihat peta, saya tertarik dengan satu situs purbakala yang bernama Karassik yang terletak di dalam kota Rante Pao. Sampai 3 kali memutar dan bertanya, tidak ada satupun orang yang tahu dimana Karassik berada, “Ini sudah Karassik, Mbak, tapi gak ada tempat itu” selalu begitu kata mereka. Akhirnya sayapun menemukan petunjuk jalan bergambar batu Menhir yang terletak di mulut gang sebuah perumahan, dimana diatasnya terdapat plang dokter. Ya ampuuuunnn, ternyata sudah saya lewati selama tiga kali. Masuk ke dalam gang, saya hanya menemui anak-anak kecil dan tidak ada seorangpun yang bias ditanya. Ternyata sedikit masuk lagi ke dalam terdapat padang luas dengan menhir besar kecil dan sebuah pondok kayu. Ini dia yang dimaksud. Sayangnya, ada tangan jahil yang mencoret salah satu menhir sebagai penunjuk jalan ke sebuah villa. Hadoohh….

Hujan kembali turun malam itu dan sayapun hanya menghabiskan malam di penginapan.

Hari keenam, 7 Maret 2010

Hari ini saya mendapat guide berbeda. Seorang asli Toraja, berasal dari Batutumonga. Guide saya yang sebelumnya harus kembali ke Palopo.

Saya putuskan untuk membeli peta yang lebih komplit dari yang saya punya. Kepala rasanya bertanduk begitu mengetahui harganya, Rp. 90 ribu untuk sebuah peta local. Ckckckckck….

Palawa

Tujuan perjalanan kali ini adalah kearah utara Rante Pao. Palawa sebagai lokasi terjauh menjadi tujuan pertama. Tidak beda jauh dengan Kete Kesu, Palawa merupakan desa adat yang memiliki Tongkonan dan lumbung. Bedanya, disini tongkonan-nya lebih banyak dan tidak ada makam. Dari guide yang baru ini saya tahu kalau masyarakat Toraja memiliki Kasta yang dibagi 3 (saya lupa namanya). Hanya golongan kasta tertinggi dan menengah yang boleh memiliki Tongkonan Berukir. Jadi kalau ada tongkonan yang tidak ada ukirannya berarti termasuk kasta yang bawah walaupun bukan kasta ter-bawah.

Batutumonga melalui Tinombayo

Perjalanan dilanjutkan lagi ke atas, melewati hutan dan areal persawahan. Hawa sejuk seperti di Puncak terasa disini, dan pemandangannya pun luar biasa. Batutumonga memang merupakan ‘Puncak Pas’ –nya Rante Pao. Jaraknya cukup jauh dari Palawa, lumayan panas duduk di motor selama 2 jam perjalanan. Sempat berhenti beberapa kali untuk mengambil foto-foto pemandangan yang cantik dengan batu-batu gunung yang besar di tengah persawahan, sampai akhirnya berhenti di Tinombayo, sebuah kelokan dimana terdapat kedai kecil untuk beristirahat dan foto-foto. Sempat bercakap-cakap denga 3 orang turis, Puan dari Malaysia seumur Ibu saya, saya lanjutkan perjalanan ke Batutumonga. Dari atas, dapat saya lihat kota Rante Pao seperti melihat kota Bogor dari Puncak Pas.

Lokomata

Yang special disini adalah kuburan yang digali di dalam batu-batu gunung yg hitam dan besar. Katanya persiapan memahat batu bias mencapai 6 bulan. Saya temukan beberapa liang batu yang masih kosong dan mengintip ke dalam. Ukurannya berbeda2 begitupun letaknya, tidak semua berada diatas, melainkan ada juga yang ditengah persawahan. Bertemu seorang nenek yang menceritakan Tau-Tau (orang-orangan) yang ada di salah satu makan dicuri orang hanya karena sang penjaga makam tertidur dan lengah. Setiap makam ada penjaga yang umunya keluarga tetua desa.

Sabung Ayam di Batutumonga

Mana kutahu kalau Sabung Ayam di Tator itu peristiwa langka dan ilegal?

Beruntung punya guide orang Batutumonga di hari kedua di Tator, yang kenal hampir setiap orang yang ditemui sepanjang jalan menuju Batutumonga sambil membawa ayam. Saya lalu bertanya karena penasaran, apakah mereka mau jual ayam? Mereka mau Sabung ayam, katanya. Saya yang penasaran ingin sekali melihat seperti apa peristiwa langka ini. "Jangan, mbak, ini gak resmi. Kalau mau yang resmi bulan Juni-Juli saja"... huaaahhh emang gue bakal balik bulan segitu? belum tentu kan!

Saya rayu sang guide sampai akhirnya mau mengantar saya ke tempat Sabung Ayam. Terpencil di balik persawahan dan perbukitan, dengan jalan yang berbatu dan becek, sampai juga kami ke sebuah desa yang cantik. Pemandangannya aduhai, pegunungan, batu-batu menhir, dan rumah tongkonan.

Semuanya pria disana, kecuali ibu-ibu penjaja makanan. Spontan semua mata tertuju pada saya, tamu tak diundang. Sabung ayam berlangsung sepanjang siang, namun pertarungannya sendiri hanya dalam hitungan menit, yang lama adalah mencocokkan harga dan kekuatan masing-masing lawan.

Tiba-tiba saya dihampiri seorang bapak "Mbak, dari mana?" "Jakarta, Pak." "Bukan wartawan kan? Ini kamera bukan untuk meliput kan?" "Bukan, pak, saya hanya wisata" "Maaf mbak, mohon tinggalkan tempat ini karena semua kurang nyaman ada mbak....." Huaaaaaahhhhhh, maap.......

 

Bori Parinding

Turun kebawah melalui jalanan yang curam membelah hutan, saya dibawa menuju kompleks Menhir Bori Parinding. Menemukan menhir tertinggi disana, dan dikatakan menhir ter-rendah adalah yang paling sedikit potong kerbaunya (24 ekor), jadi kebayang kan kalo yang paling tinggi berapa ratus ekor kerbau yang dipotong? Selain menhir, juga terdapat kubur batu dan kubur bayi di pohon seperti di Kambira, hanya lebih sedikit.

Lemo

Loh kok balik ke Selatan? Kenapa ke Lemo hari ini karena kemaren batal karena hujan deras. Penasaran seperti apa Lemo, saya putuskan untuk kesana di sore hari. Perjalanan menuju Lemo melewati arah ke Londa, dimana terdapat Tau-Tau (orang-orangan) yang cukup komplit disini. Merupakan Kubur di tebing yang walaupun tidak terlalu banyak namun masih terlihat rapi, didepannya terdapat tau-tau dengan wajah yang sama. Menurut guide, karena rata-rata usia makam sudah tua dan anak cucu sudah tidak mengenali lagi wajah mereka, jhadilah dibuat Tau-Tau berwajah sama, hanya dibedakan jenis kelaminnya. Yang menarik disini, semua tangan menengadah ke atas seperti peminta-minta, namun ternyata memiliki makna mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa, karena diberi kelimpahan semasa hidup maupun sesudah mati.

Tilanga’

Ini adalah destinasi terakhir saya. Tilanga’ adalah sebuah mata air yang terletak diatas gunung kapur dekat Lemo. Airnya hijau jernih. Ini aja sebelumnya lebih jernih lagi menurut sang guide. Saya temui anak-anak yang bermain air dan lompat dari pohon tinggi disini. Memang aman, karena kedalaman mata air sampai 5 meter. Sayangnya jalan meuju ke atas sangat jelek, rusak dan berlubang.

 

Overall, perjalanan ini sangat menyenangkan. Dan ternyata, pergi sendiri utk seorang perempuan ke Tator tidak seseram yang dibayangkan. Hanya sedikit over budget karena gak ada teman utk share cost.

Rincian biaya perjalanan:

Tiket Sriwijaya Air Jak-UP PP                                     Rp. 1.524.000

Penginapan di Makassar                                          Gratis (numpang teman) Thanks to Dian

Sewa perahu ke Samalona & Kondingareng              Rp. 400.000 (6jam)

Mandi di Samalona                                                    Rp. 20.000/gallon

Penginapan di Samalona                                          mulai Rp. 300.000 (kamar utk 4 org)s/d Rp. 1 juta/ malam (1 rumah utk 10-12 orang

Sewa snorkel set, fin + life vest    di Samalona        Rp. 15.000/set

Sewa Becak motor ke Puntondo                               Rp. 170.000/hari

Pete-pete di Makassar                                              Rp. 3000/jauh dekat sama

Karcis Benteng Fort Notredame                             Rp. 3000 (resmi) – Tulis buku tamu Rp. 5000

Tip guide Benteng Fort Notredam                            Rp. 50.000 (pemerasan. Huh)

Bus Litha.co Makassar-Rante Pao pp                       Rp. 160.000

Penginapan Wisma Monton                                     Rp. 100.000/malam

Tiket masuk object wisata Tator                              @ Rp. 5000/karcis

Sewa guide + motor incld bensin                              Rp. 150.000/hari

Sewa lampu petromaks di Londa                              Rp. 20.000

Tip guide local di Kete Kesu, Londa, Kambira          Rp. 65.000 (total)